Jakarta,fajrtimor.com-Bumdes yang akan dibentuk di desa, sebaiknya berbentuk koperasi, agar rakyat di pedesaan mendapat ruang partisipasi. Jangan perseroan karena tidak adaptif.
Kekuatiran menguatnya budaya egosentrisme lokal di pedesaan dan hilangnya budaya gotong royong, jika Bumdes (Badan Usaha Milik Desa), terbentuk sebagai sebuah usaha perseroan menjadi dalil Gubernur Lebu Raya saat berbicara pada Acara Round Table Discussion (RTD) dengan tema Revitalisasi Pengelolaan Peternakan Sapi Nasional Guna Meningkatkan Ketahanan Pangan Dalam Rangka Ketahanan Nasional, Kamis, (6/8) bertempat di ruang Kresna Gedung Astagatra Lt.IV Barat Lemhanas RI. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional RI.
“Saya sepakat dengan kelembagaan yang disebut koperasi, dan NTT memang dijadikan sebagai provinsi koperasi. Pada kesempatan ini saya menaruh harapan besar kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Lemhanas RI agar mendorong BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) dalam bentuk koperasi, sehingga saling membantu dan gotong royong tetap terjaga” demikian jelas Gubernur NTT menanggapi sesi diskusi bersama peserta Round Table Discussion (RTD).
Dikatakan penegasan Presiden IR. Joko Widodo bahwa ada tiga masalah bangsa yang harus diselesaikan yaitu merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi – sendi perekonomian nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Oleh karena itu kajian pada hari ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan amanah Presiden RI, khususnya terkait melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional dari sisi ketahanan pangan, terutama pada sektor pengelolaan peternakan sapi nasional.
Sementara Gubernur Lemhanas Budi Susilo Soepandji dalam kesempatan tersebut mengatakan Permasalahan sapi kini tidak lagi hanya menjadi isu nasional, namun sudah isu global yang melibatkan berbagai aktor, baik negara maupun non negara.
“sapi kini, dapat dijadikan alat politik untuk meningkatkan daya tawar suatu negara”, ucap Susilo Soepandji.
Pada kesempatan itu Susilo Sospandji menjelaskan bahwa posisi indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat dunia dan dengan tingkat kesejahteraan maupun pendidikan yang terus meningkat, berdampak pada terus meningkatnya kebutuhan daging maupun susu sapi. Pada sisi lain ketersediaan sapi lokal sangat terbatas, sehingga upaya impor sapi bakalan, daging sapi, maupun susu sapi tidak dapat dihindari sampai saat ini. Kondisi tersebut sesungguhnya sangat kronis jika dibandingkan dengan potensi yang ada di Indonesia. Sebgai negara agrarais yang memiliki iklim panas maupun curah hujan yang cukup. Dengan kondisi demikian, indonesia seharusnya dapat melakukan swasembada sapi nasional jika semuanya dapat direncanakan, dikelolah, disinergikan dan dilakukan dengan komitmen yang tinggi.
Berkaitan dengan upaya swasembada sapi nasional, Lemhanas RI pada tanggal 10 Juni 2015 yang lalu, telah melakukan serangkaian acara Focus Group Discussion. Pada Focus Group Discussion terungkap fakta bahwa permasalahan yang menghambat upaya perwujudan swasembada sapi sangatlah kompleks dan memerlukan penanganan secara khusus. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya terkait dengan: Aspek kebijakan;lemahnya infrastruktur dan perangkat pendukung;minimnya ketersediaan data base yang upto date dan valid; adanya unsur “pemain” yang diindikasikan mampu mempermainkan harga; tidak meratanya kualitas dan kuantitas peternakan sapi, mahalnya pakan sapi dan minimnya teknologi.
Usai melakukan diskusi meja bundar Gubernur Lemhanas RI menyampaikan hal-hal penting dalam diskusi sebelum menutup diskusi tersebut yakni : pertama, pemerintah perlu mendorong optimalisasi peran kementrian/lembaga serta pemerintah daerah dalam mewujudkan kebijakan penguatan kelembagaan petrenakan serta merumuskan tata niaga lebih menitikberatkan pada peningkatan kemandirian dan daya saing nasional; kedua, pemerintah perlu memetakan dan merevitalisasi unsur-unsur pendukung terwujudnya swasembada sapi termasuk infrastruktur logistik, penyediaan lahan, pengembangan bibit unggul maupun teknologi peternakan sapi basis pembangunan industri; ketiga, pemerintah daerah perlu merumuskan berbagai skema kredit usaha kecil menengah bagi masyarakat peternak dengan rentang waktu yang proporsional dan biaya dana yang rendah; dan keempat, swasembada sapi perlu diwujudkan dalam perspektif ketahanan ekonomi wilayah, sosial budaya dan daya saing nasional. (ft/indahayu/bony)