Kredit Macet Bank NTT: DPRD NTT Desak Dirut dan Direksi Buka Data Hapus Buku

Artikel ini Telah di Baca 1,851 Kali
  • Bagikan

Kupang, fajartimor.com – Polemik penghapusan buku (hapus buku) kredit macet di Bank NTT terus menjadi sorotan. Anggota DPRD NTT Fraksi PKB, Yohannes Rumat dan Marselinus Anggur Nganggus, S.T., M.T, atau yang akrab disapa Celly Nganggus, mendesak Direktur Utama dan jajaran direksi Bank NTT agar secara terbuka mengungkap data terkait penghapusan buku guna menghindari berbagai persoalan hukum dan keuangan yang lebih besar.

Pernyataan tersebut disampaikan kepada media ini pada Kamis (15/05/2025) menyikapi belum jelasnya arah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT yang terus menuai pertanyaan.

Potensi Pelanggaran Hukum dan Etika

Yohannes Rumat menegaskan bahwa proses penghapusan buku seharusnya dilakukan dengan transparan dan sesuai prosedur yang berlaku. Ketertutupan informasi justru akan memunculkan kecurigaan bahwa proses tersebut sarat dengan pelanggaran etika dan hukum.

“Jika data tidak dibuka, ini dapat menciptakan kesan bahwa proses tersebut tidak transparan dan bahkan menyembunyikan informasi penting,” ujar Rumat.

Celah Potensi Korupsi dan Pelanggaran Peraturan

Senada, Celly Nganggus menambahkan bahwa ketidakjelasan mengenai data penghapusan buku bisa membuka peluang terjadinya praktik korupsi dan pelanggaran terhadap regulasi perbankan yang berlaku.

“Jika prosedur dan transparansi tidak diikuti, Bank NTT bisa menghadapi sanksi tegas dari otoritas perbankan,” tegas Celly.

Dampak Serius bagi Nasabah dan Stakeholders

Kedua legislator ini mengingatkan bahwa dampak ketidaktransparanan tidak hanya dirasakan oleh internal bank, tapi juga oleh nasabah, investor, pegawai, hingga publik secara luas.

“Nasabah bisa kehilangan rasa aman dan kepercayaan terhadap stabilitas keuangan bank. Hal ini bisa memicu penarikan dana besar-besaran dan gangguan pada aktivitas ekonomi,” jelas Rumat.

Sementara itu, Celly menambahkan bahwa investor akan kehilangan kepercayaan, pegawai merasa tidak aman terhadap kelangsungan pekerjaan, dan publik mencatat penurunan citra industri perbankan secara keseluruhan.

Risiko Hukum dan Penurunan Reputasi Bank

Lebih lanjut, jika tidak segera dibuka secara transparan, Bank NTT berisiko menghadapi pengaduan hukum, tuntutan nasabah, bahkan sanksi dari otoritas. Selain itu, reputasi dan nilai merek bank juga bisa terdampak serius.

Hapus Buku dan Hapus Tagih

Sebagai catatan, penghapusan buku adalah tindakan administratif untuk mengeluarkan kredit macet dari neraca bank, namun kewajiban debitur tetap ada. Sedangkan penghapusan tagih berarti menghapus kewajiban debitur secara keseluruhan dan tidak lagi ditagih.

Dalam konteks ini, transparansi sangat penting untuk menjaga kredibilitas Bank NTT dan memastikan bahwa proses yang dilakukan tidak merugikan semua pihak.

Mengingat dampak besar yang ditimbulkan, Yohannes Rumat dan Celly Nganggus menegaskan pentingnya keterbukaan informasi dalam proses hapus buku.

Mereka meminta agar Dirut dan jajaran direksi Bank NTT segera membuka data tersebut demi menjaga stabilitas, kepercayaan, dan integritas perbankan di Nusa Tenggara Timur.

Sementara terkait hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT yang dinilainya tidak menyentuh hal-hal mendasar terkait kinerja keuangan bank milik daerah Yohanes Rumat juga Celly Nganggus justru menilai RUPS lebih menonjolkan pergantian kepengurusan ketimbang membahas secara substansial strategi pemulihan bisnis dan transparansi laporan keuangan.

Yohanes dan Celly bahkan mengkritisi RUPS Bank NTT seharusnya memaparkan secara jelas laporan laba rugi, termasuk perhitungan deviden yang menjadi hak Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai pemegang saham.

Keduanya justru mempertanyakan apakah deviden yang dibagikan sudah sebanding dengan ekspektasi investasi yang wajar, mengingat total modal Pemda di Bank NTT mencapai Rp 2,6 triliun.

“Jika kita kalkulasikan, bunga deposito 5% dari Rp 2,6 triliun bisa menghasilkan Rp 130 miliar. Pertanyaannya, apakah deviden yang diterima Pemda tahun ini mencapai angka tersebut? Jika tidak, maka perlu dipertanyakan efektivitas investasi di Bank NTT,” ujar Yohanes diamini Celly.

Yohanes juga menyoroti absennya penjelasan terkait aspek krusial lain seperti kredit macet (NPL), kredit hapus buku, dan rasio kesehatan kredit. Ia menyebut, pertanyaannya terkait hal tersebut belum dijawab secara terbuka dalam jumpa pers RUPS.

Lebih lanjut, ia menilai laba tahun 2024 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2020, Bank NTT mencatatkan laba sebesar Rp 261,8 miliar, sementara tahun ini hanya sebesar Rp 188 miliar meskipun jumlah kredit mengalami peningkatan.

“Kalau kredit naik tapi laba turun, harusnya ada penjelasan rinci. Sayangnya ini tidak disampaikan. RUPS seolah puas dengan capaian laba yang menurun,” kritiknya.

Selain itu, Yohanes dan Celly juga menyoroti belum adanya laporan tentang potensi delusi saham Pemda pasca pembentukan Kelompok Usaha Bank (KUB).

Mereka mempertanyakan apakah Direksi sudah memberikan laporan lengkap terkait hal tersebut kepada pemegang saham.

Tak hanya itu, progres penyelesaian kasus hukum terkait Medium Term Notes (MTN) yang sebelumnya ramai dibahas publik juga tidak disinggung dalam konferensi pers RUPS.

“Informasi-informasi penting ini justru diabaikan. Padahal yang dibutuhkan para pemegang saham adalah strategi pemulihan, terutama dalam menghadapi penurunan laba dan tingginya angka kredit bermasalah,” tegas Yohanes.

Ia pun berharap ke depan RUPS Bank NTT dapat berjalan lebih terbuka, fokus pada transparansi kinerja, serta mampu menjawab kekhawatiran para pemegang saham demi menjaga kepercayaan publik dan keberlanjutan bank daerah tersebut.

Dua Plt. Dirut Bank NTT Ciptakan Ambiguitas.

Hingar bingar adanya situasi kepemimpinan di Bank NTT menuai sorotan tajam setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bank tersebut menghasilkan dua Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Utama (Dirut) secara bersamaan.

Keputusan ini dinilai menciptakan ambiguitas dalam pengambilan keputusan dan berpotensi mengganggu stabilitas operasional bank milik daerah itu.

Anggota DPRD NTT dari Fraksi PDI Perjuangan, Pata Vinsensius, menyayangkan hasil RUPS yang belum mampu menghasilkan satu Dirut definitif.

Menurutnya, penunjukan dua Plt. Dirut secara bersamaan merupakan langkah yang tidak ideal dan menimbulkan berbagai risiko serius.

“Dua Plt. Dirut yang berkuasa secara bersamaan akan menciptakan konflik, ambiguitas dalam pengambilan keputusan, dan ketidakpastian dalam kepemimpinan bank,” tegas Vinsensius.

Ia memaparkan beberapa dampak dari situasi ini yakni adanya Konflik dan Ketidakjelasan Kewenangan yang tumpang tindih bisa memicu konflik internal dalam pengambilan keputusan penting.

Ketidakpastian Kepemimpinan

Ketidakjelasan soal siapa yang memiliki otoritas tertinggi akan membingungkan karyawan dan mitra kerja.

Gangguan Operasional

Ambiguitas dalam kepemimpinan dapat menghambat jalannya operasional harian bank.

Kerugian Reputasi

Situasi ini dapat mencoreng citra Bank NTT di mata publik dan investor sebagai lembaga yang tidak stabil secara manajerial.

Potensi Benturan Kepentingan

Dua pimpinan dengan latar belakang dan kepentingan berbeda dapat membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Vinsensius menekankan pentingnya penyelesaian segera atas situasi ini.

Ia justru menyarankan agar RUPS kembali digelar untuk menunjuk satu Dirut definitif.

“Jika masih menemui jalan buntu, Dewan Komisaris diharapkan mengambil langkah tegas, termasuk kemungkinan menarik kembali penunjukan dua Plt. Dirut dan meminta persetujuan RUPS untuk memilih satu nama yang layak. Saya kira saatnya mengedepankan kepentingan bank dan publik. Stabilitas dan tata kelola yang baik harus menjadi prioritas,” saran Vinsensius.

Menyoal syarat batas usia lanjutnya, untuk Direktur Utama (Dirut) bank diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Saat ini, batas usia maksimal untuk pengangkatan Direksi (termasuk Dirut) adalah 60 tahun pada saat pengangkatan pertama. 

“Batas usia maksimal untuk pengangkatan pertama sebagai Anggota Direksi, termasuk Direktur Utama, adalah 60 tahun. Sedangkan batas usia paling bawah adalah 35 tahun. Yang terjadi kini justru usia salah satu Plt. Dirut Bank NTT hasil RUPS adalah 65 tahun. Batas usia tersebut jauh dari patokan undang undang bahkan Permendagri. Saya justru menduga patokan batas usia tersebut dilangkahi karena ada dugaan pesanan sponsor serta tekanan politik dengan mengabaikan profesionalitas, kapasitas dan kreativitas. Kalau seperti ini prakteknya maka kasihan Bank Daerah ini. Rakyat bukan dicerdaskan tapi sebaliknya diperbodoh,” sindir Vinsensius. (Ft/tim)
  • Bagikan