Komisi V DPRD NTT Dorong Perda Perlindungan Tenaga Kerja Informal, Selangkah Lebih Maju dari Kemendagri

Artikel ini Telah di Baca 62 Kali
  • Bagikan

Kupang, Fajartimor.com – Komisi V DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan telah bergerak lebih cepat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menyusun regulasi perlindungan bagi tenaga kerja informal yang belum mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo, dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (12/09/2025) di ruang sidang Komisi V. Ia didampingi Ketua Komisi V, Muhammad Sipriyadin Pua Rake, Wakil Ketua Agustinus Nahak, dan Sekretaris Komisi V.

Menurut Winston, Komisi V tengah mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Tenaga Kerja Informal atau Bukan Penerima Upah (BPU), yang mencakup pekerja sektor non-formal seperti pengemudi ojek, pedagang kaki lima, nelayan, dan buruh harian lepas.

“Selama ini, mereka tidak tersentuh perlindungan. Padahal, mereka juga bekerja dan berkontribusi untuk keluarganya. Kami ingin mereka mendapatkan perlindungan yang sama seperti pekerja formal,” ujar Winston.

Winston menambahkan, dalam penyusunan Ranperda ini, Komisi V juga telah berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan. Diketahui, BPJS menyambut baik inisiatif ini karena sejalan dengan surat edaran Kemendagri yang mendorong perlindungan tenaga kerja di empat sektor: formal, informal, konstruksi, dan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

“Menariknya, kita sudah selangkah lebih maju. Penyusunan naskah akademik dan draft awal perda sudah kami selesaikan, sementara Kemendagri baru mengeluarkan edaran seminggu lalu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Winston mengungkapkan bahwa DPRD juga tengah mendorong optimalisasi program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL/CSR) untuk mendukung program pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan di NTT.

“CSR ini tidak memerlukan dana dari APBD. Kita hanya perlu manajemen yang baik agar perusahaan bisa berkontribusi nyata, misalnya mendanai pelatihan keterampilan atau pendidikan bagi masyarakat,” ucapnya.

Namun demikian, Komisi V menyoroti sejumlah tantangan dalam pelaksanaan program perlindungan tenaga kerja ini. Salah satunya adalah ketidaksiapan data yang akurat dan sistem pendataan yang tumpang tindih antar lembaga. Ia mencontohkan kasus di salah satu desa di Kabupaten Malaka, di mana data penerima bantuan tidak akurat karena sumber data yang digunakan tidak valid.

“Kita butuh data yang presisi agar program ini menyasar masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” tegas Winston.

Komisi V menargetkan Perda Perlindungan Tenaga Kerja Informal dapat rampung dan diimplementasikan pada tahun 2026. Pemerintah provinsi telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung program ini melalui BPJS Ketenagakerjaan.

“Kami tidak ingin ini hanya berhenti di dokumen. Payung hukumnya harus kuat dan eksekusinya harus jalan. Ini soal keadilan sosial bagi semua warga,” tutup Winston. (Ft/Boni)

  • Bagikan