Proyek Jembatan Bliko Rp18 Miliar di Flotim Diduga Asal Kerja, ‘Pemasangan Girder Tak Gunakan Crane’

Artikel ini Telah di Baca 171 Kali
  • Bagikan

Flotim, fajartimor.com — Proyek penggantian Jembatan Bliko di Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT, yang menyedot anggaran lebih dari Rp18 miliar, diduga dikerjakan tanpa standar konstruksi modern. Pekerjaan pemasangan girder dan dinding modular pracetak dilakukan tanpa menggunakan crane, menimbulkan kekhawatiran serius soal presisi dan keamanan struktur.

 

Gambar pemasangan lantai deck Jembatan Bliko Adonara Flores Timur-NTT (foto istimewa)
Gambar pemasangan lantai deck Jembatan Bliko Adonara Flores Timur-NTT (foto istimewa)

Pantauan media di lapangan sejumlah bagian jembatan dikerjakan secara manual, tanpa alat bantu berat yang lazim digunakan pada proyek jembatan bertipe pracetak. Sementara itu, pihak Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) NTT belum memberikan tanggapan resmi meski telah dimintai klarifikasi berkali-kali.

Gambar pekerjaan pemasangan lantai deck Jembatan Bliko Adonara yang terpantau tidak presisi. (Foto istimewa)
Gambar pekerjaan pemasangan lantai deck Jembatan Bliko Adonara yang terpantau tidak presisi. (Foto istimewa)

Risiko Teknis, Pekerjaan Tak Presisi,  Potensi Gagal Struktur
Menurut ahli teknik sipil yang diwawancarai secara terpisah, pekerjaan tanpa crane berisiko tinggi menyebabkan ketidakpresisian, yang secara langsung berdampak pada titik kritis struktur: BM 100 atau bending moment maksimum.

“Di BM 100, tekanan dan beban maksimum bekerja. Jika girder dan panel tidak terpasang secara presisi, beban akan menyebar tidak merata, menimbulkan tegangan tambahan, dan berpotensi memicu kegagalan struktur,” jelas seorang pakar teknik sipil.

Bahaya Ketidakpresisian Pemasangan pada Titik BM 100
Masalah Teknis Dampak
Girder tidak sejajar/posisi miring Distribusi beban tidak merata → keretakan
Panel modular tidak rata/bergeser Tekanan tak seimbang → usia struktur menurun
Tumpuan tidak stabil atau meleset Pilar retak → risiko jembatan ambruk

BM 100 = titik momen lentur maksimum → Presisi wajib mutlak!

BM 70 = titik biasa dalam analisis struktur → dampak tak sebesar BM 100.

Mengapa Crane Vital?

Crane menjamin akurasi tinggi dalam penempatan elemen pracetak.

Meminimalkan risiko pergeseran dan ketidakpresisian.

Menurunkan potensi kesalahan manusia saat pemasangan manual.

Bagian dari SOP proyek jembatan nasional dan internasional.

Ketidakhadiran Crane Juga Ganggu Proses Stressing Girder
Selain menurunkan presisi, ketiadaan crane juga mengganggu tahapan penting dalam proyek jembatan: stressing girder, atau proses pemberian gaya tekan prategang (prestressing) yang membuat balok beton menjadi kuat dan tahan terhadap beban tinggi.

Untuk diketahui, Tujuan Stressing Girder yakni
Menambah kekuatan girder agar mampu menahan beban lalu lintas dan lingkungan.

Mencegah keretakan, dengan menyeimbangkan tegangan tarik akibat beban.

Mengurangi deformasi (melengkung ke bawah) akibat berat sendiri dan beban kendaraan.

Sementara tahapan Stressing Girder (Post-Tensioning) meliputi
Setting Strand: Kabel tendon (strand) dimasukkan ke lubang tendon di dalam girder.

Stressing: Kabel ditarik dengan hydraulic jack → girder melengkung ke atas (camber).

Grouting: Lubang diisi dengan adukan semen untuk mengikat dan mencegah korosi.

Finishing: Pembersihan dan penyempurnaan pemasangan.

Selain itu sistem yang Digunakan yaitu:
Pre-tensioning: Gaya tarik diberikan sebelum pengecoran beton.

Post-tensioning: Gaya tarik diberikan setelah beton mengeras → lebih umum di proyek jembatan skala besar.

Tanpa crane

pemasangan bisa tidak sinkron dengan hasil stressing. Ini bisa membatalkan manfaat prategang dan mempercepat kerusakan,” tambah sumber teknis tersebut.

Publik Berhak Tahu & Mengawasi

Ketidakhadiran metode konstruksi modern seperti crane bukan hanya soal efisiensi, tapi menyangkut standar keselamatan, tanggung jawab profesional, dan pengelolaan dana publik. Dana yang digunakan bersumber dari keuangan negara, dan pengguna jalan berhak atas jembatan yang aman serta tahan lama.

Audit teknis independen sangat diperlukan untuk memastikan apakah proyek ini telah memenuhi kaidah perencanaan dan pelaksanaan sesuai standar Kementerian PUPR maupun ketentuan teknis jembatan nasional.

Presisi Bukan Detail, Tapi Soal Nyawa

Sejumlah ahli teknik menekankan bahwa proyek infrastruktur skala besar tidak boleh ditoleransi jika dilaksanakan tanpa standar presisi yang ketat. Kesalahan teknis sekecil apapun dalam struktur jembatan bisa menimbulkan risiko fatal dari keretakan dini hingga runtuhnya jembatan.

Dikatakan, kurangnya presisi dikhawatirkan picu kegagalan struktural hingga ancam keselamatan pengguna jalan.

Keselamatan publik adalah harga mati. Dana publik harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. (Ft/tim)

  • Bagikan