Proyek Jembatan Bliko Rp18 Miliar Lebih Diduga Penuh Misteri dan Dugaan Penyimpangan; ‘ARAKSI NTT Minta Audit dan Pengusutan’

Artikel ini Telah di Baca 398 Kali
  • Bagikan

Kupang, fajartimor.com – Proyek penggantian Jembatan Bliko di Kecamatan Wotan Ulumado, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), senilai lebih dari Rp18 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), diduga bermasalah. Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI) NTT menyoroti adanya indikasi penyimpangan sejak proses pengadaan hingga pelaksanaan proyek di lapangan.

Ketua ARAKSI NTT, Alfred Baun, pada Sabtu (11/10/2025), menyatakan bahwa proyek yang dikerjakan oleh PT Kurnia Mulia Mandiri melalui skema e-katalog mini kompetisi jasa konstruksi tidak transparan. ARAKSI justru menduga kuat kalau perusahaan pelaksana diduga tidak memiliki etalase jasa konstruksi resmi di sistem e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Gambar. Pemasangan dinding modular pra cetak jembatan Bliko Adonara menggunakan alat bantu eksavator bukan crane. (Foto insert)
Gambar. Pemasangan dinding modular pra cetak jembatan Bliko Adonara menggunakan alat bantu eksavator bukan crane. (Foto insert)

“Dari awal hingga sekarang, proyek ini penuh tanda tanya (penuh misteri). Kami tidak tahu apakah pengadaannya sesuai prosedur terbuka atau hanya formalitas? Apakah sesuai e-katalog versi 6 atau sebaliknya bahkan dugaan pemilihan pemenang berdasarkan ambang batas. Semuanya misteri,” ucap Alfred sambil mengernyitkan dahinya.

Diduga Pemasangan Girder Dilakukan Tanpa Crane

ARAKSI juga menyoroti proses pemasangan komponen jembatan, seperti girder dan dinding modular pracetak, yang menurut laporan dilakukan secara manual tanpa bantuan alat berat seperti crane. Dan jika benar hal ini dinilai sangat berisiko terhadap kualitas dan keselamatan struktur jembatan.

“Kalau benar girder sepanjang 35 meter dipasang tanpa crane, itu jelas melanggar standar teknis nasional dan sangat membahayakan. Kami menduga ada pembiaran dari pihak Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) NTT selaku pelaksana proyek, juga dugaan tidak adanya konsultan pengawas independen atau mungkin dugaan kepura-puraan pengawasan proyek dari Pengawas Internal Balai Pelaksanaan Jalan Nasional yang tidak tuntas. BPJN NTT juga jangan pura-pura tidak tahu la
,” sindir Alfred.
Senada dengan Alfred Baun, Ketua Araksi NTT, Seorang ahli teknik sipil yang dimintai keterangan secara terpisah menyatakan bahwa pemasangan girder tanpa crane berisiko tinggi terhadap presisi struktur jembatan. Ketidakpresisian tersebut bisa berdampak pada titik paling kritis jembatan, yakni BM 100 (bending moment maksimum), di mana beban terbesar terjadi.

Masalah teknis yang mungkin terjadi lanjutnya yakni Girder tidak sejajar yang berakibat Beban tidak merata, serta berdampak pada terjadinya retakan dini.
Selain itu l Panel pracetak mudah bergeser dan sudah tentu akan membuat Tekanan tidak seimbang, yang selanjutnya berdampak pada umur struktur pendek.

Ia juga menjelaskan jika
Tumpuan meleset, akan sangat berpengaruh pada Pilar retak, dan risiko fatalnya jembatan ambruk.

Dikatakan lebih jauh, tanpa alat berat seperti crane proses penting seperti prestressing (pemberian gaya tekan pada girder) juga bisa terganggu, sehingga daya tahan jembatan menurun.

“Jadi jangan anggap enteng orang NTT. Kami juga paham konstruksi, paham teknis dan seterusnya. Kepada Araksi NTT maju terus kami siap dukung full,” spiritnya.

ARAKSI Desak Audit Independen

Alfred Baun juga mempertanyakan fungsi pengawasan internal dari BPJN NTT, yang seharusnya memastikan proyek berjalan sesuai aturan.

Hingga kini, BPJN NTT belum memberikan tanggapan resmi, meski sudah beberapa kali diminta klarifikasi.

“Ini uang negara. Tidak boleh dikerjakan asal-asalan. Kami mendesak agar dilakukan audit teknis independen terhadap proyek ini,” tegas Alfred.

Tidak digunakannya alat berat seperti crane jelas Alfred, bisa menjadi indikasi adanya pengurangan volume pekerjaan atau dugaan mark-up anggaran.

“Presisi dalam proyek jembatan bukan sekadar detail teknis. Ini menyangkut keselamatan pengguna jalan dan tanggung jawab negara kepada rakyat. Kita juga akan cek apakah ada juga anggaran yang dialokasikan khusus untuk crane atau tidak?,” terang Alfred lagi.

ARAKSI Siap Laporkan ke KPK

Jika hasil investigasi lapangan menemukan bukti kuat adanya penyimpangan, ARAKSI berencana melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kami akan kawal proyek ini sampai tuntas. Masyarakat punya hak untuk tahu dan mengawasi penggunaan uang negara,” tandas Alfred, sembari menjelaskan bahwa kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan publik dan transparansi dalam setiap proyek pembangunan yang dibiayai negara. Pekerjaan konstruksi tanpa standar, lemahnya pengawasan, dan potensi kerugian negara harus menjadi perhatian semua pihak. (Ft/tim)

  • Bagikan