Riwu Ga, Ajudan Setia Bung Karno yang Terlupakan: Sepenggal Pengabdian dari Ende hingga Proklamasi

Artikel ini Telah di Baca 153 Kali
  • Bagikan

Kupang, fajartimor.comDi balik sorotan sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, terdapat sosok sunyi yang turut berjasa namun nyaris dilupakan: Sosok itu adalah seorang Riwu Ga, ajudan asal Sabu, Nusa Tenggara Timur, yang setia mendampingi Ir. Soekarno sejak masa pengasingan di Ende hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Riwu Ga pertama kali bertemu Soekarno pada usia 13 tahun saat Bung Karno menjalani pengasingan di Ende, Flores, pada 1934. Sifatnya yang patuh dan sederhana membuatnya dipercaya menjadi pelayan sekaligus ajudan pribadi oleh Soekarno dan istrinya saat itu, Inggit Garnasih.

Riwu Ga Ajudan Setia Bung Karno (foto istimewa)
Riwu Ga Ajudan Setia Bung Karno gambar bersama Bung Karno dan keluarga. (foto istimewa)

Sejak saat itu, Riwu Ga terus mengikuti perjalanan politik dan pengasingan Bung Karno, termasuk saat dipindahkan ke Bengkulu. Bahkan setelah Indonesia merdeka, Riwu Ga tetap menjadi bagian dari lingkaran keluarga Presiden Soekarno.

Peran di Hari Proklamasi

Riwu Ga menjadi saksi langsung peristiwa monumental pembacaan naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Ia juga mendapat tugas penting dari Soekarno: menyebarkan kabar kemerdekaan kepada masyarakat Jakarta yang saat itu masih berada di bawah tekanan tentara pendudukan Jepang.

Bersama seorang pengemudi bernama Sarwoko, Riwu berkeliling Jakarta dengan mobil jeep, menyuarakan berita kemerdekaan sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Aksi ini dinilai sangat berani, karena tentara Jepang masih bersenjata dan bisa saja mengambil tindakan represif.

Langkah Riwu ini diyakini membantu menyebarluaskan informasi kemerdekaan secara langsung kepada rakyat, melengkapi upaya lain yang dilakukan melalui siaran radio, seperti oleh Jusuf Ronodipuro dan sejumlah tokoh di daerah.

Kisah Pribadi yang Terlupakan

Meski memiliki peran penting dalam perjalanan kemerdekaan, nama Riwu Ga tidak banyak tercatat dalam buku sejarah.

Ia tidak pernah menerima penghargaan negara secara resmi atas jasa-jasanya, dan di masa tuanya hidup dalam kesederhanaan sebagai penjaga malam di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ende hingga pensiun pada 1974.

Salah satu anaknya, Yance Riwu Ga, mengisahkan bahwa sang ayah selalu berbagi cerita tentang masa-masa pengasingan Bung Karno dan momen-momen bersejarah menjelang proklamasi.

Yance menyebut, bahkan ketika Soekarno hendak diasingkan ke Australia, ia bersikeras membawa serta Riwu Ga. Namun karena faktor kendala prinsip, Riwu Ga tidak bisa ikut. Bung Karno pun akhirnya memutuskan tidak jalan bahkan berlayar ke tempat pengasingan di Australia tanpa Riwu Ga.

Dan benar, Kapal yang direncanakan akan ditumpangi Bung Karno justru di bom kapal perang Jepang dan tenggelam.

“Riwu Ga yang tidak bisa ikut berlayar, kemudian menyelamatkan Sang Proklamator kemerdekaan Indonesia”

Setelah pensiun, Riwu Ga tinggal di kawasan Naikoten, Kota Raja, Kota Kupang, lalu pindah ke Nunkurus, Kabupaten Kupang. Di sana, ia dan istrinya Belandina Kana menghabiskan hari tua sebagai petani.

Akhir Hayat yang Simbolik

Riwu Ga wafat pada 17 Agustus 1996, tepat pukul 17.00 Wita — saat prosesi penurunan bendera Merah Putih sedang berlangsung di berbagai penjuru Indonesia. Ia meninggal dunia di ruang perawatan kelas tiga RSU Kupang, setelah dirawat selama hampir dua minggu akibat komplikasi penyakit di bagian perut.

Jenazahnya dimakamkan pada 19 Agustus di TPU Kapadala, Kelurahan Airnona, Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang.

Jejak yang Perlu Diingat

Meski bukan tokoh besar yang dikenal publik, Riwu Ga adalah bagian dari sejarah bangsa. Ia bukan seorang pejuang bersenjata atau diplomat di meja perundingan, namun pengabdiannya pada Bung Karno dan dedikasinya pada momen-momen penting kemerdekaan Indonesia patut dikenang.

“Meski hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayat, kami bangga pada Bapa,” kata Yance, putra Riwu Ga, seperti dikutip media ini dari berbagai sumber terpercaya.

Riwu Ga adalah pengingat bahwa sejarah besar Indonesia juga ditopang oleh mereka yang bekerja dalam diam, tanpa pamrih, dan tak pernah menuntut penghargaan. (Ft/tim)

  • Bagikan