Papua di Masa Depan: Jejak Nama yang Terus Menyala dari Ujung Timur Indonesia

Artikel ini Telah di Baca 802 Kali
  • Bagikan

Paniai, Papua Tengah, fajartimor.com — Pulau Papua, tanah eksotis yang kaya akan budaya, sejarah, dan sumber daya alam, akan kembali menjadi sorotan dunia pada peringatan Hari Sejarah Papua yang direncanakan digelar pada 6 November 2025 di Jl. Debaby Yogi Awabutu, Kecamatan Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah.

Kegiatan ini akan menjadi momentum refleksi terhadap jejak panjang sejarah nama “Papua”, yang telah mengalami banyak perubahan sejak abad ke-2 Masehi. Pulau ini bukan sekadar wilayah geografis, tetapi juga simbol perjalanan peradaban, interaksi antarbangsa, dan identitas masyarakat Melanesia yang terus berkembang.

Dari Labadios hingga Papua

Catatan sejarah menunjukkan, sejak sekitar tahun 200 Masehi, ilmuwan Yunani Claudius Ptolomaseus mencatat pulau ini dengan nama Labadios. Beberapa abad kemudian, pedagang Tiongkok Ghau Yu Kuan menyebutnya Tungki pada tahun 500 Masehi, menandai awal interaksi perdagangan antara Asia Timur dan Nusantara bagian timur.

Sekitar abad ke-6 hingga ke-7, pedagang dari Persia, Gujarat, dan Hindia mulai berlabuh di perairan Papua. Mereka menyebut wilayah ini Dwi Panta dan Samudranta, yang berarti “ujung samudera” atau “ujung lautan”. Nama-nama tersebut menggambarkan posisi geografis Papua sebagai pintu gerbang terakhir sebelum Samudra Pasifik.

Pengaruh Kerajaan Nusantara dan Kolonialisme

Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, sebutan terhadap Papua terus berubah. Catatan Empu Prapanca (1365) menyebutnya Janggi, sedangkan Majapahit mengenal wilayah ini sebagai Wanin dan Sram.

Abad ke-14 menandai pengaruh kuat Kerajaan Tidore, yang memberi nama Papa-ua kepada penduduknya, berarti “tidak bergabung” atau “anak piatu”. Dari sinilah istilah Papua kemudian lahir dan dikenal hingga kini.

Ketika bangsa Portugis dan Spanyol datang pada abad ke-16, istilah baru bermunculan. Antonio d’Abreu menulis nama Os Papuas, sementara Jorge de Menezes memperkenalkannya secara resmi sebagai Papua. Di sisi lain, pelaut Spanyol Inigo Ortiz de Retes (1545) menamai wilayah ini Nueva Guinea, karena penduduknya dianggap mirip dengan orang Guinea di Afrika.

Era Modern: Dari Irian ke Papua

Memasuki abad ke-20, masa kolonial Belanda dan Inggris memperkenalkan nama Nieuw-Guinea dan New Guinea. Setelah kemerdekaan Indonesia, nama Papua sempat diganti menjadi Irian pada 1946, lalu menjadi Irian Jaya pada masa Presiden Soeharto (1973).

Baru pada 1 Januari 2000, melalui keputusan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), nama Papua resmi digunakan kembali — sebuah penghormatan terhadap sejarah dan akar budaya masyarakat setempat.

Papua: Identitas yang Terus Hidup

Kini, menjelang peringatan bersejarah tahun 2025, berbagai kalangan akademisi dan tokoh muda Papua berupaya menggali kembali makna dan filosofi nama Papua. Bagi mereka, nama itu bukan sekadar identitas geografis, tetapi simbol perjuangan, martabat, dan keberagaman masyarakat di Tanah Cenderawasih.

“Papua adalah catatan perjalanan bangsa yang hidup — bukan hanya untuk dikenang, tapi juga dijaga agar tetap bermakna bagi generasi masa depan,” ujar Jeri P. Degei, penulis dan penasehat umum IPMANAPANDODE Se-Kota Studi Sorong Raya, yang juga menggagas kegiatan refleksi sejarah tersebut.

Dengan semangat pelestarian budaya dan sejarah, masyarakat Papua berharap momentum ini menjadi tonggak baru dalam merawat jati diri dan kebanggaan atas nama yang telah melewati ribuan tahun perjalanan sejarah.


📰 Penulis: Jeri P. Degei
📍 Senior Mahasiswa Kota Studi Sorong
💬 Penasehat Umum IPMANAPANDODE Se-Kota Studi Sorong Raya
🗓️ Papua, Bernama Surga yang Jatuh ke Bumi di Timur Indonesia

  • Bagikan